Tiga anaknya tidak sekolah di sekolah formal layaknya anak-anak pada umumnya. Tapi ketiganya mampu menjadi anak-anak teladan, dua di antaranya sudah kuliah di luar negeri di usia yang masih seangat muda. Saya cuma berdecak gemetar mendengarnya. Bagaimana bisa?
Minggu (21/ 7) lalu, saya mengikuti acara
Forum Indonesia Muda (FIM) Ramadhan yang diadakan di UNPAD. Niat
awalnya mau nabung ilmu dan inspirasi sebelum pulang kampung, selain
juga memang karena pengisi acaranya inspiring. Eh, pembicara yang paling saya tunggu ternyata berhalangan hadir. But, that’s not the point. Semua pembicara yang hadir memang sangat inspiring, tapi saya benar-benar dikejutkan di sesi terakhir. Tentang parenting. Awalnya saya pikir sesi ini mau membicarakan apa gitu. Do you know actually? It talks about a success and inspiring housewife. Saya langsung melek. Lupa lapar. Like my dream becomes closer. Saya mencari seminar yang membahas tentang keiburumahtanggaan. Nggak tahunya nemu di sana. Lihatlah daftar mimpi besar saya nomor 1-4. Rasanya terbahas semua sore itu. (No offense nomor 2, gue juga kagak tahu kalau urusan itu :p ) Baiklah, mukadimah ini akan terlalu panjang kalau saya lanjutkan.
Namanya Ibu Septi Peni Wulandani. Kalau
kalian search nama ini di google, kalian akan tahu bahwa Ibu ini dikenal
sebagai Kartini masa kini. Bukan, dia bukan seorang pejuang emansipasi
wanita yang mengejar kesetaraan gender lalala itu. Bukan.
Beliau seorang ibu rumah tangga
profesional, penemu model hitung jaritmatika, juga seorang wanita yang
amat peduli pada nasib ibu-ibu di Indonesia. Seorang wanita yang ingin
mengajak wanita Indonesia kembali ke fitrahnya sebagai wanita seutuhnya.
Dalam sesi itu, beliau bercerita kiprahnya sebagai ibu rumah tangga
yang mendidik tiga anaknya dengan cara yang bahasa kerennya anti mainstream. It’s like I’m watching 3 Idiots. But this is not a film. This is a real story from Salatiga, Indonesia.
Semuanya berawal saat beliau memutuskan untuk menikah. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran.
Semuanya berawal saat beliau memutuskan untuk menikah. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa pernikahan adalah peristiwa peradaban, untuk kisah Ibu Septi, pepatah itu tepat sekali. Di usianya yang masih 20 tahun, Ibu Septi sudah lulus dan mendapat SK sebagai PNS. Di saat yang bersamaan, beliau dilamar oleh seseorang. Beliau memilih untuk menikah, menerima lamaran tersebut. Namun sang calon suami mengajukan persyaratan: beliau ingin yang mendidik anak-anaknya kelak hanyalah ibu kandungnya. Artinya? Beliau ingin istrinya menjadi seorang ibu rumah tangga. Harapan untuk menjadi PNS itu pun pupus. Beliau tidak mengambilnya. Ibu Septi memilih menjadi ibu rumah tangga. Baru sampai cerita ini saja saya sudah gemeteran.
Akhirnya beliaupun menikah. Pernikahan
yang unik. Sepasang suami istri ini sepakat untuk menutup semua gelar
yang mereka dapat ketika kuliah. Aksi ini sempat diprotes oleh orang
tua, bahkan di undangan pernikahan mereka pun tidak ada tambahan titel/
gelar di sebelah nama mereka. Keduanya sepakat bahwa setelah menikah
mereka akan memulai kuliah di universitas kehidupan. Mereka akan belajar
dari mana saja. Pasangan ini bahkan sering ikut berbagai kuliah umum di
berbagai kampus untuk mencari ilmu. Gelar yang mereka kejar adalah
gelar almarhum dan almarhumah. Subhanallah. Tentu saja tujuan mereka
adalah khusnul khatimah. Sampai di sini, sudah kebayang kan bahwa pasangan ini akan mencipta keluarga yang keren?
Ya, keluarga ini makin keren ketika sudah
ada anak-anak hadir melengkapi kehidupan keluarga. Dalam mendidik anak,
Ibu Septi menceritakan salah satu prinsip dalam parenting adalah
demokratis, merdekakan apa keinginan anak-anak. Begitupun untuk urusan
sekolah. Orang tua sebaiknya memberikan alternatif terbaik lalu biarkan
anak yang memilih. Ibu Septi memberikan beberapa pilihan sekolah untuk
anaknya: mau sekolah favorit A? Sekolah alam? Sekolah bla bla bla. Atau
tidak sekolah? Dan wow, anak-anaknya memilih untuk tidak sekolah. Tidak
sekolah bukan berarti tidak mencari ilmu kan? Ibu Septi dan keluarga
punya prinsip: Selama Allah dan Rasul tidak marah, berarti boleh. Yang
diperintahkan Allah dan Rasul adalah agar manusia mencari ilmu. Mencari
ilmu tidak melulu melalui sekolah kan? Uniknya, setiap anak harus punya
project yang harus dijalani sejak usia 9 tahun. Dan hasilnya?
Enes, anak pertama. Ia begitu peduli
terhadap lingkungan, punya banyak project peduli lingkungan, memperoleh
penghargaan dari Ashoka, masuk koran berkali-kali. Saat ini usianya 17
tahun dan sedang menyelesaikan studi S1nya di Singapura. Ia kuliah
setelah SMP, tanpa ijazah. Modal presentasi. Ia kuliah dengan biaya
sendiri bermodal menjadi seorang financial analyst. Bla bla bla banyak
lagi. Keren banget. Saat kuliah di tahun pertama ia sempat minta
dibiayai orang tua, namun ia berjanji akan menggantinya dengan sebuah
perusahaan. Subhanallah. Uang dari orang tuanya tidak ia gunakan, ia
memilih menjual makanan door to door sambil mengajar anak-anak untuk
membiayai kuliahnya.
Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak.
Ara, anak ke-2. Ia sangat suka minum susu dan tidak bisa hidup tanpa susu. Karena itu, ia kemudian berternak sapi. Pada usianya yang masih 10 tahun, Ara sudah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 sapi. Bisnisnya ini konon turut membangun suatu desa. WOW! Sepuluh tahun gue masih ngapain? Dan setelah kemarin kepo, Ara ternyata saat ini juga tengah kuliah di Singapura menyusul sang kakak.
Elan, si bungsu pecinta robot. Usianya
masih amat belia. Ia menciptakan robot dari sampah. Ia percaya bahwa
anak-anak Indonesia sebenarnya bisa membuat robotnya sendiri dan bisa
menjadi kreatif. Saat ini, ia tengah mencari investor dan terus
berkampanye untuk inovasi robotnya yang terbuat dari sampah. Keren!
Saya cuma menunduk, what I’ve done until my 20? :0 Banyak juga peserta yang lalu bertanya, “kenapa cuma 3, Bu?” hehe.
Saya cuma menunduk, what I’ve done until my 20? :0 Banyak juga peserta yang lalu bertanya, “kenapa cuma 3, Bu?” hehe.
Dari cerita Ibu Septi sore itu, saya menyimpulkan beberapa rahasia kecil yang dimiliki keluarga ini, yaitu:
1. Anak-anak adalah jiwa yang merdeka, bersikap demokratis kepada mereka adalah suatu keniscayaan
2. Anak-anak sudah diajarkan tanggung
jawab dan praktek nyata sejak kecil melalui project. Seperti yang saya
bilang tadi, di usia 9 tahun, anak-anak Ibu Septi sudah diwajibkan untuk
punya project yang wajib dilaksanakan. Mereka wajib presentasi kepada orang tua setiap minggu tentang project tersebut.
3. Meja makan adalah sarana untuk
diskusi. Di sana mereka akan membicarakan tentang ‘kami’, tentang mereka
saja, seperti sudah sukses apa? Mau sukses apa? Kesalahan apa yang
dilakukan? Oh ya, keluarga ini juga punya prinsip, “kita boleh salah,
yang tidak boleh itu adalah tidak belajar dari kesalahan tersebut”.
Bahkan mereka punya waktu untuk merayakan kesalahan yang disebut dengan “false celebration”.
4. Rasulullah SAW sebagai role model.
Kisah-kisah Rasul diulas. Pada usia sekian Rasul sudah bisa begini, maka
di usia sekian berarti kita juga harus begitu. Karena alasan ini pula
Enes memutuskan untuk kuliah di Singapura, ia ingin hijrah seperti yang
dicontohkan Rasulullah. Ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia tidak
dikenal sebagai anak dari orang tuanya yang memang sudah terkenal hebat.
5. Mempunyai vision board dan vision talk.
Mereka punya gulungan mimpi yang dibawa ke mana-mana. Dalam setiap
kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat, mereka akan share
mimpi-mimpi mereka. Prinsip mimpi: Dream it, share it, do it, grow it!
6. Selalu ditanamkan bahwa belajar itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari nilai
7. Mereka punya prinsip harus jadi
entrepreneur. Bahkan sang ayah pun keluar dari pekerjaannya di suatu
bank dan membangun berbagai bisnis bersama keluarga. Apa yang ia dapat
selama bekerja ia terapkan di bisnisnya.
8. Punya cara belajar yang unik. Selain belajar dengan cara home schooling di
mana Ibu sebagai pendidik, belajar dari buku dan berbagai sumber,
keluarga ini punya cara belajar yang disebut Nyantrik. Nyantrik adalah
proses belajar hebat dengan orang hebat. Anak-anak akan datang ke
perusahaan besar dan mengajukan diri menjadi karyawan magang. Jangan
tanya magang jadi apa ya, mereka magang jadi apa aja. Ngepel,
membersihkan kamar mandi, apapun. Mereka pun tidak meminta gaji. Yang
penting, mereka diberi waktu 15 menit untuk berdiskusi dengan pemimpin
perusahaan atau seorang yang ahli setiap hari selama magang.
9. Hal terpenting yang harus dibangun oleh sebuah keluarga adalah kesamaan visi antara suami dan istri. That’s why milih jodoh itu harus teliti. Hehe. Satu cinta belum tentu satu visi, tapi satu visi pasti satu cinta
10. Punya kurikulum yang keren, di mana fondasinya adalah iman, akhlak, adab, dan bicara.
11. Di-handle oleh ibu kandung sebagai pendidik utama. Ibu bertindak sebagai ibu, partner, teman, guru, semuanya.
Daaaan masih banyak lagi. Teman-teman
yang tertarik bisa kepo twitter ibu @septipw atau gabung dan ikut kuliah
online tentang keiburumahtanggaan di ibuprofesional.com.
Hhhhmmm. Gimana? Profesi ibu rumah tangga
itu profesi yang keren banget bukan? Ia adalah kunci awal terbentuknya
generasi brilian bangsa. Saya ingat cerita Ibu Septi di awal kondisi
beliau menjadi ibu rumah tangga. Saat itu beliau iri melihat wanita
sebayanya yang berpakaian rapi pergi ke kantor sedangkan beliau hanya
mengenakan daster. Jadilah beliau mengubah style-nya. Jadi Ibu
rumah tangga itu keren, jadi tampilannya juga harus keren, bahkan punya
kartu nama dengan profesi paling mulia: housewife. So, masih zaman
berpikiran bahwa ibu rumah tangga itu sebatas sumur, kasur, lalala yang
haknya terinjak-injak dan melanggar HAM? Duh please, housewife is the most presticious career for a woman, right? Tapi semuanya tetap pilihan. Dan setiap pilihan punya konsekuensi Jadi apapun kita, semoga tetap menjadi pendidik hebat untuk anak-anak generasi bangsa.
Setelah mengikuti sesi tersebut, saya
menarik kesimpulan bahwa seminar kepemudaan tidak melulu bahas tentang
organisasi, isu-isu negara, dan lain-lain yang biasa dibahas. Pemuda
juga perlu belajar ilmu parenting untuk bekal dalam mendidik generasi penerus bangsa ini. Bukankah dari keluarga karakter anak itu terbentuk?
Wallahualambisshawab. Semoga ada yang bisa diambil pelajaran.
Rumah,
31 Juli 2013
00.29
31 Juli 2013
00.29
Akhirnya kelar juga. Maaf tulisan ini agak lama post-nya. Saya mengalami krisis takut menulis kemarin-kemarin ini. Kumat. Hehe. Semoga bermanfaat
Oh ya, di acara itu saya juga bertemu
komunitas yang concern untuk mengajak wanita kembali pada kodratnya
menjadi wanita seutuhnya, namanya komunitas @metamorfosis_id. Yang tertarik silahkan kepoin twitternya
Salam,
Himsa. A housewife wanna be. Hehe.
Himsa. A housewife wanna be. Hehe.
0 komentar:
Posting Komentar