Kamis, 16 Mei 2013

PR besar untuk kita ...

Jihadnya Seorang Guru

Ilustrasi (padang-today.com)
Ilustrasi (padang-today.com)
dakwatuna.com - Saya cukup terhenyak ketika salah seorang murid saya berkata “saye senang tadi ngan ibu’X’ yang ngasih tahu kite carenye ngasih kode”. Siswa saya yang lain turut dalam pembicaraan itu “iye lah ngan itok” sembari memainkan jari jemarinya yang menunjukkan kode untuk tiap option A,B,C, dan D. Saya hanya terdiam sejenak. Sebenarnya hal inilah yang saya takutkan ketika UN menjadi momok besar dan monster yang menakutkan bagi sebagian besar siswa-siswa di negeri ini.
Jauh sebelum hal ini terjadi, di setiap memulai waktu les saya mencoba untuk mengingatkan mereka bahwa ilmu adalah cahaya Allah dan cahaya Allah tidak akan masuk bagi orang-orang yang berlaku curang. Hal ini saya terapkan juga sebelum saya mengajar, sedikit mengingat apa yang pernah disampaikan bu Marwah Daud (praktisi pendidikan) yaitu “ajarkanlah siswa untuk mengenal siapa Penciptanya”. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh beliau. Tapi dihari itu rasanya apa yang pernah saya sampaikan kepada mereka terpentalkan begitu saja.
Esoknya di sekolah saya masuk ke kelas tersebut yang saat itu sedang mengerjakan latihan soal Matematika. Saya duduk di depan kelas mengamati keadaan kelas. Menjelang waktu istirahat saya tuliskan di papan tulis:
“Yar pa’illadzina aamanu minkum, walladzina ulul i’lmu darojah, wallahu bimaa ta’maluuna khobiir”
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui Apa yang kamu kerjakan.
Seusai istirahat tanpa berbasa-basi saya tanyakan kepada seluruh siswa di kelas. “sudah siapkah menghadapi UN?” serentak seisi kelas menjawab “sudah”. Lalu saya tanyakan kembali  “Adakah diantara kalian yang masih berniat untuk mencontek?”. Sebagian besar siswa saya hanya tertunduk dan dua orang lainnya mengacungkan tangan. Saya hanya mampu menarik nafas saat itu. Lalu siswa yang tepat dihadapan saya angkat bicara “semari kate bapak “X” bolehlah nyontek asal da’an tahulah pengawasnye”. Hati saya semakin bergejolak dan mata saya nanar menahan ketidaksukaan pernyataan tersebut.
Kembali saya katakan kepada siswa-siswa saya “da’an tau pengawasnye? Apakah Allah da’an tau ape yang kite orang tok kerjakan?. Saya bacakan ayat yang berada di papan tulis “Wallahu bimaa ta’maluuna khobiir, Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan, da’an cukupkeh Allah sebagai penolongmu. Allahusshomad, hanya kepada Allah kita bergantung. Ikhdinasshirothol mustaqiim, Tunjukilah kami jalan yang lurus (benar), Apa artinya?”. Allah meminta kita untuk berlaku jujur, saya tidak peduli siapa yang mengajarkan kalian untuk berlaku curang karena diri kalianlah yang lebih tahu mana yang benar dan salah. “ibu sebagai guru kalian memang orang baru tapi ibu yakin kalian bisa mengerjakan soal UN dengan cara yang jujur, ini adalah kertas target kalian (saya tunjukan kertas target yang berisi targetan nilai saat minggu lalu saya meminta mereka untuk menuliskan harapan nilai mereka untuk mata pelajaran UN). Fokus terhadap apa yang telah kalian targetkan, Insya Allah akan ada kemudahan didalamnya, syaratnya cukuplah Allah sebagai tempat bergantung”.
Kecurangan dalam UN terjadi karena lunturnya budaya malu dalam mencontek. Segala hal dilakukan agar nilai ujian tidak jelek dan predikat sekolah tidak dipermalukan dengan kekhawatiran kalau-kalau siswa nya memperoleh nilai yang kecil. Guru mungkin lupa bahwa dirinya seharusnyalah menjadi cerminan bagi siswanya bukan justru mengajarkan keburukan yang sudah tahu mudharatnya. Tapi hal inilah yang pada akhirnya saya temukan, Guru mengajarkan siswanya bagaimana cara mencontek. Mengajarkan siswa untuk mencontek adalah bentuk ketidakpercayaan seorang guru kepada kemampuan siswa dan pengajaran yang diberikan oleh guru itu sendiri.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/16/33361/jihadnya-seorang-guru/#ixzz2TSlHQEHo
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

0 komentar:

Posting Komentar