Sumber dakwatuna.com –
Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang
mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak
neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa pun bentuk keluarga kita itu
adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah
paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota
keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam
keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa
keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam
berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri
atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam
berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari
motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga
kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari
sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat
perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah,
nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota
keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah
mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim
dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan
melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang
muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi
berkeluarga? Kompetensi berumah tangga
adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus
dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang
menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup.
Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara:
karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan
merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan
keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata,
bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya
karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah
kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya
congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak
yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah
lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak
beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi
saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan
yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang
dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani
dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu
dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan
hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah
keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh
pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya
kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh
anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya
terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab
Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya
melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam
melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam
mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Untuk apa Allah memberikan samara
kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan.
Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh
kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai
sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي
الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang
muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan
dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah
(kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga
dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk
surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk
surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah
kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan
pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan.
[QS. Ali Imran (3): 185]
Karena itu, doa rabbanaa atinaa
fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh
setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah
menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala
keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka.
Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan
bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya.
Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan
kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu
orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota
keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa
sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut
nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga
kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin
ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama
dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami
beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk
surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah
salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri,
orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong
menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci
pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran
dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran
pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab,
istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4):
34]
Pasangan suami-istri yang seperti
itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi.
Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat?
Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan
tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga
adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin
ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan
kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin
dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara
pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika
diiringin kemauan yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan
realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura’.
Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi
keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan
Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain
berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat
rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya, keluarga juga akan sukses
mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya.
Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan.
Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu
orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan
ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah
langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
Visi keluarga kita:
Tidak ada satu pun anggota keluarga
tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
- Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)
- Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)
Strategi untuk mencapai visi dan
misi keluarga kita:
1. Setiap anggota keluarga mengikuti
tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah
(pembersihan diri), dan taklim.
2. Setiap anggota keluarga
menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
3. Setiap anggota keluarga berdakwah
dan berjihad fii sabilillah.
4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu
fiil ardhi).
Arah kebijakan keluarga kita:
1. Semua anggota keluarga kita harus
tertarbiyah.
2. Setiap anggota keluarga harus
memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
3. Secara jama’i (bersama-sama),
keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
4. Harus memiliki agenda dakwah di
dalam keluarga.
5. Harus memiliki agenda dakwah di
untuk masyarakat sekitar.
6. Menghadirkan suasana keluarga
yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
7. Mendidik setiap anggota keluarga
untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
8. Menyediakan sarana dan prasarana
pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
Setelah arah dan kebijakan
ditetapkan, perincilah ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif.
Mungkin tabel seperti di bawah ini
bisa membantu dalam menyusun rencana agar tidak satu pun anggota keluarga kita
tersentuh api neraka.
RENSTRA KELUARGA KITA
Dengan mengharap bimbingan dan
rahmat Allah swt., kami bertekad melaksanakan rencana ini.
ARAH KEBIJAKAN
|
Nama Program
|
Indikatorkeberhasilan
|
Bentuk Kegiatan
|
Waktu Pelaksanaan
|
PJ
|
Anggaran
|
Ket
|
|||
Jadi, masuk surga memang harus
direncanakan. Bukan sekadar diharapkan!
0 komentar:
Posting Komentar